Mungkin ini memang salah… tapi siapa yang perduli?
Sabarku juga ada batasnya.
Aku selalu berusaha untuk menamengi diriku, apa itu salah? Apakah pembelaan diri itu kesalahan? Memang benar, aku jauh dari kata sempurna. Memang aku tidak seperti orang-orang lain –entah siapapun itu yang kau banggakan- apa sebegitu salahnya jika aku hanya seperti ini? Apa sebegitu kelirunya aku? Kau selalu menyerangku dan hal-hal yang aku sukai. Apa perdulimu? Kau hanya mau mencela-cela tanpa melihat makna dari rasa sukaku. Kenapa selalu menggangguku? Aku bahkan tidak pernah sedikitpun mengomentari apapun yang kau sukai.
Aku tau, iya… memang benar, kamu tidak pernah mengharapkan aku di hidupmu. Berbeda dengan dia dan dia, yang memang kau inginkan. Meskipun aku ini tidak ada artinya, bisakah kau sedikit saja… menghargai?
Aku terbiasa. Sangat terbiasa dan terlalu terbiasa menerima perlakuan buruk darimu. Menerima penolakan seperti sekarang ini. Tapi, bagaimanapun aku berusaha sabar, tetap saja ada saat di mana aku begitu terluka. Ada saatnya, aku tak bisa menyelesaikan semua ini hanya dengan menangis.
Kadang aku berpikir. Mungkin aku terlalu berlebihan. Kadang aku masih berusaha menghibur diriku dengan “nggak pa-pa. ini bukan apa-apa. Masih banyak orang di luar sana yang merasakan sakit lebih dari ini. Aku masih sewajibnya bersyukur.’ Tapi, aku tak bisa berkata begitu sekarang. Di mana untuk kesekian kali aku di tampar oleh kenyataan yang begini menyakitkan. Semuanya begitu berbanding terbalik, antara cara menghibur diri sendiri, kenyataan yang aku rasakan dan fakta bahwa orang lain tidak seperti ini- orang lain tidak sepertimu, tidak seperti kita!
Aku tidak bisa menutup fakta bahwa yang kumiliki hanya dirimu, aku tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa kau begitu menikmati caramu menghempaskan perasaanku. Dan itu sungguh menyakitiku. Aku sungguh merasa menyesal harus membencimu yang begitu kusayangi. Tapi aku tak lagi bisa menghindar. Aku masih ingin membuatmu bahagia dengan caraku. Tapi jika kau memilih membahagiakan dirimu sendiri dengan berulang kali menusukku, itu urusanmu.
#Those hurtfull words, I’m willing not to hear them anymore, may I? I wonder if you would stop.
Terimakasih sudah menyakitiku lagi.
0 komentar:
Posting Komentar