Mengutip kalimat Brilli, “Direlakan itu lebih menyakitkan dari merelakan”
Oke, seperti yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya. Saat ini sedang musimnya galau. Awalnya Brilli dan Virly yang entah mengapa tergila-gila dngan kegalauan. Dan entah mengapa pula aku ketularan.
Back to the quote. Yea. I guess that’s true.
Pada awal minggu semester baru kemaren, aku duduk berdua sama teman sekelasku, cowok yang aku sukai semenjak tes masuk. Iya, yang bikin aku galau karena dia udah punya someone special itu lho~
Saat itu aku mikir, kalau saja acara duduk berdua dengan lengan saling bersinggungan ini terjadai tiga bulan sebelumnya, sudah pasti aku mati bahagia. Sudah pasti wajahku terasa panas. Sudah pasti aku mendendangkan syair cinta. Iya, sudah pasti begitu.
Tapi hari itu, aku nggak merasa pengen mati karena bahagia, wajahku juga nggak sepanas yang aku kira, hatiku, minimal, nggak mendendangkan syair cinta. Aku Cuma ngerasa seneng bisa ngobrol santai sama dia. Hal yang sudah aku idam-idamkan sejak tau aku sekelas sama dia.
Apa sedangkal itu perasaanku dulu. Apakah gelisahku karena bertemu dengan cewek yag dia sukai itu bukan apa-apa?? Itulah yang aku pertanyakan pada diriku sendiri. Tapi sekarang aku tahu jawabannya. Mungkin iya, perasaanku masih belum sedalam itu. Tapi rasa gelisah itu bukanlah hal yang nggak ada artinya. Aku tahu kenapa aku bisa menerimanya dengan mudah. Karena aku rela. Aku rela dia bahagia bersamanya. Itulah alasan mengapa hal itu terasa ringan.
Dan bagaimanapun juga, yang namanya direlakan itu, lebih menyakitkan.
Aku ingat bagaimana rasanya direlakan itu. Aku masih 1 SMP saat itu. Baru pacaran sebulan sama monyet sialan itu. Begitu denger aku cuma dipermainkan, aku langsung minta putus. Dan dia begitu aja merelakan aku. Sebagai cewek yang sakit hati, aku berharap setidaknya, dia bakalan berusaha mempertahankan aku dalam hubungan yang hanya main-main untuknya itu, meskipun hanya sekali. Meskipun hanya sebaris kata “Nggak mau” yang hanya diucapkan sekali.
#Now I’m listening to Glenn fredly – Sedih tak berujung.
Pas banget ya~ tema galau saat baru putus waktu itu adalah lagu ini. Bahkan kadang aku masih bisa nangis saat denger lagu ini. Saat ngetik ini pun aku lagi berkaca-kaca *What a fool !!* hanya saja, perbedaan air mataku saat ini dan waktu yang telah lama berlalu itu adalah rasa yang ada di dalamnya.
Kalau saat itu aku nangis karena patah hati. Karena dia ngerelain aku begitu saja. Karena aku terluka. Karena aku cinta setengah mampus sama dia. Sekarang bukan itu lagi alasannya.
Yang sekarang aku ngerasa, gimana mungkin aku bisa sebodoh itu. Gimana bisa aku berkeras menggenggam cintaku untuknya yang sudah hancur jadi serpihan penuh darah, dan meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan baik-baik saja hanya dengan mencintainya secara sepihak, kalau aku akan lebih baik bila terus mencintainya dan percaya, suatu hari, entah itu besok atau minggu depan, bulan depan, tahun depan atau kapanpun itu di masa depan, dia akan kembali padaku.
Bagaimana aku bisa mencoba meyakini, orang yang telah membohongiku akan kembali dan memintaku untuk percaya padanya. Bagaimana aku sekarang ini menyadari aku begitu bodoh. Menyia-nyiakan hari-hariku untuk terus membalut perasaanku yang hancur itu dengan kasa bernama kepercayaan. Aku nggak percaya, aku bisa sebodoh itu.
Kadang aku menertawakan diriku. Kadang aku marah, dan merasa begitu benci pada kenyataan bahwa pada masaku yang begitu polos, aku bisa sedalam itu mencintai monyet sialan macam dia. Menyadari semua itu sangat menyakitkan. Menyadari aku begitu sering menangis sediri pada malam-malamku yang dihantui oleh bayangannya. Dan dia tertawa karena berhasil menyakitiku.
Aku yang masih begitu polos. Sepenuh hati percaya. Spenuh hati mencintainya. Dan aku sama sekali nggak tahu, apakah aku harus bangga atau harus merutuki hal itu. Yang aku tahu, aku sudah mencoba untuk rela. Merelakan masa-masa yang meremukkan hatiku itu. Meskipun pada kenyataanya, aku masih merasa hal itu terlalu sulit untuk dilupakan. Perasaanku saat itu, perjuanganku melewati hari-hari itu, terlalu menyakitkan untuk dilupakan begitu saja.
Merelakan itu sulit. Direlakan itu menyakitkan. Dan begitulah cinta.