This is miserable. But I just can’t help myself not to think about it.
Suicide. Yaa, it’s suicide. Killing yourself.
Aku bukan tipe orang yang menyukai hal-hal seperti menyakiti diri sendiri secara ekstrim, meskipun aku sendiri merasa diriku masokis. Tapi aku tidak pernah mengizinkan diriku untuk memikirkan suicide. Bagiku itu hal bodoh. Dan tidak termaafkan.
I don’t even know what have come into me, that I let myself think about that kind of thing. Mungkin beban. Mungkin juga kalimat-kalimat yang diucapkan dengan sengaja untuk menyakitiku. Atau mungkin, aku hanya nggak pernah mau mengakui kalau aku tidak jarang memikirkan hal ini, dan saat kekejaman itu kembali menghantamku, yang bisa kupikirkan hanyalah bagaimana caranya keluar dari perasaan sakit dan terhina itu dan bagaimana caranya mereka pergi dengan cepat.
I wish I had another place to go. To hide. To escape. Or likely to commit suicide, so that no one know where I go. So that no one know what I’d do. So that no one can find me. It’s not like anyone would bother to look for me, but yeah, just so so.
Aku berpikir secara mendalam. Apa yang dirasakan orang-orang itu hingga mereka memilih untuk mati daripada berusaha bertahan dan menghadapinya?? Darimana keberanian sebesar itu berasal?? Dan apa yang membuat mereka memutuskan, bahwa menggantung diri, memutus nadi atau melompat ke rel kereta api adalah keputusan paling tepat untuk berhenti menikmati keindahan langit dan kehangatan sinar matahari??
Dan mungkin aku tahu jawabannya. Rasa sakit. Rasa sakit yang tidak bisa dibendung ataupun dihentikan. Rasa sakit yang tidak tahu dari mana asal muasalnya. Rasa sakit yang disertai banyak rasa lain seperti tidak diinginkan, tidak berguna, terbuang, marah, benci, frustasi, putus asa yang begitu parah hingga tak ada yang bisa menyelamatkanmu selain kematian.
Kira-kira begitulah yang aku rasakan saat ini.
Kalian pasti tau. Aku ini hanya makhluk sialan yang tidak bisa bersyukur dan sangat sering mengeluh. Ini bukan pertama kalinya aku mengeluh, tapi ini pertama kalinya aku berpikir tentang suicide.
Seperti yang aku jabarkan di atas. Ada rasa sakit yang sepertinya nggak bisa dihentikan dan aku nggak tahu dari mana datangnya rasa sakit itu. It’s just too much, dan untuk sesaat aku berpikir aku nggak akan bisa bertahan. Rasanya aku akan tenggelam bersama rasa sakit itu. Dan aku hanya bisa membiarkan diriku tenggelam.
Sudah berkali-kali hatiku dicacah. Tapi baru kali ini cacahan itu tidak dibiarkan berdarah-darah hingga akhirnya mengering. Melainkan dilemparkan ke anjing. Begitulah perumpamaannya.
Generally, I’ll just simply cry. Yeah, I did cry a bit. But I keep tellin’ myself not to cry. I mustn’t cry. At least not in front of these people. Not in front of people who have hurt me. It’s not easy. The tears keep fallin’ slowly from my stupid eyes. Just can’t help it.
But yea. I think I’m stronger than I thought. Dan aku lebih beruntung daripada mereka yang tidak bisa meluapkan perasaannya. And thanks to my beloved friend, Neko-Chan. Aku nggak bisa cerita banyak. Tapi dia berusaha mengerti dan memahami. Dan harus kukatakan betapapun remuk rasanya perasaanku, dia bisa membuatku tersenyum. Dia bilang padaku, itulah artinya teman.
Mungkin, aku masih harus memikirkan cara terbaik untuk mati. Tapi setidaknya, suicide masih terlihat begitu tabu untukku. Kompensasi untuk memikirkan suicide yang tidak terlaksana -jangan sampai- hari ini adalah, nangis sepuasnya sampe mata perih, tenggorokan sakit dan kepala mau pecah. But I have to save it for later. When I’m on my own.
0 komentar:
Posting Komentar